Sarinah

Aflaha Rizal
6 min readJun 15, 2023
Photo by: Aflaha Rizal

Perubahan itu memang pasti terjadi. Tak hanya kehidupan dan prioritas seseorang. Tetapi hati juga ikut berubah. Mungkin ada beberapa orang yang cukup kecewa ketika menghadapi perubahan, terutama kepada manusia. Misal dalam hubungan, kamu merasa kecewa ketika seseorang yang awalnya mencintai kamu menggebu-gebu, berubah tidak seperti dulu.

Jarang ada yang memilih bertahan seberapa besar rasa bosan. Tapi aku selalu menemukan ketika perubahan itu nyata, manusia juga mudah pergi dan menjadi orang asing. Oh iya, kehidupan juga berubah bila bermain ke suatu tempat. Ada beberapa tempat yang mungkin punya kenangan di benakku selama usia belasan atau awal 20 tahun. Salah satunya di kota Cibinong, tempat rumahku tinggal.

Di sekitaran jalan Cibinong ada satu tempat yang pernah ku lewati, yakni Mall Cibinong Square yang dahulu masih ada bioskop pada tahun 2013 sampai 2014. Di masa SMA banyak anak-anak sekolah yang nongkrong di sana, bahkan pacaran sambil nonton bioskop. Bioskop Cibinong Square menjadi tempat yang punya kenangan tersendiri untukku, baik menonton film maupun bertemu dengan seseorang.

Tapi, sekarang mall itu sudah sepi dan mulai beralih ke Cibinong City Mall, yang dikenal lebih besar dan lebih banyak fasilitasnya. Mall sederhana yang penuh kenangan itu sekarang juga sudah tidak ada bioskopnya. Sebab dari luar tidak ada orang yang duduk di balkon tempat bioskop itu lagi sebagaimana dulu. Dan mungkin memang benar bahwa setiap kenangan akan tetap hidup, meski waktu dan hidup juga sama-sama ikut berubah. Ketika ingin kembali, tidak bisa kembali ke wujud asalnya selain imajinasi atau fantasi tentang kenangan yang membahagiakan.

Ada sebuah kaca yang memperlihatkan tubuhku saat berjalan ke Sarinah. Di mana aku baru saja melakukan liputan dan mencari tempat untuk menulis berita sebelum deadline. Aku melihat setiap perubahan diriku, mulai dari wajah dan tubuhku yang sedikit gemuk. Perubahan ini juga tidak membuatku sadar bahwa aku sudah di atas usia 20. Dan aku merasa aku masih ada di usia muda seperti umur 18 atau 20 awal tahun. Sebagaimana hidup berjalan, umur memang tetap bertambah. Tetapi jiwa seseorang kadang bisa ikut berubah, atau masih tetap seperti dulu dan diam di tempat.

Perubahan ini juga membawaku di mana aku adalah sosok yang penuh ambisi. Suka menulis. Suka membaca. Dan suka berpikir kritis sampai lupa tentang diri sendiri. Di masa SMA dan kuliah, aku memang dikenal sebagai pecandu baca buku dan juga menulis puisi. Dan benar, aku memang pernah berkali-kali mengirim karya tulis di koran dan terbit di sana. Sampai aku pernah dikenal sebagai penulis muda dan berbakat.

Menulis semata-mata untuk membunuh kekosongan. Tapi sebenarnya, aku memang pernah berambisi menjadi seorang penulis dan bukunya tersebar di setiap toko buku. Sampai kemudian aku paham, bahwa aku tidak bisa sampai sana selain menerbitkan karya di penerbit indie dan dijual secara terbatas. Sisanya hanya menulis di blog dan tidak ada ambisi untuk mengirim ke media lagi. Ya, perubahan yang cukup signifikan.

“Orange juice satu ya, Mas,” aku duduk di sebuah resto di dalam Sarinah yang ramai hari itu. Orang-orang saling berbicara satu sama lain, juga aktivitas yang tak kalah ramainya. Sambil membuka laptop, aku segera menulis hasil laporan liputan. Kini, aku menulis untuk perusahaan, sampai lupa tidak menyentuh menulis cerita atau puisi. Mungkin, namaku sebentar lagi akan mati, atau memang dilupakan, atau entahlah.

“Baik kak, wait for moment ya,” ucap pelayan itu dengan bahasa Inggris.

Tadinya aku mau langsung pulang atau ikut berkumpul dengan teman media lain sambil menulis bareng. Beberapa temanku juga pekerja media yang masuk di kanal News. Beberapa ada yang di kantor KPK, di Polda Metro Jaya, atau di tempat lain sambil menghisap satu batang rokok.

Aku sudah lama tidak menyentuh rokok. Sejak tahun 2020, saat aku sedang dikejar skripsi dan tekanan, aku mudah stres dan mengalihkan diri ke rokok sebagai penyelamat. Ditambah lagi aku harus menyicil sesuatu untuk bisa dikatakan siap menjadi lelaki dewasa. Kata ayahku, aku harus bisa menyicil motor baru. Tapi aku masih ragu, apakah pekerjaanku ini akan diangkat menjadi karyawan tetap atau justru dikeluarkan begitu saja. Karena itu, aku belum bisa mengambil cicilan sebagaimana orang dewasa lainnya yang siap pusing dengan keuangan.

Entah, aku merasa hanya ingin menikmati hidup tanpa harus dikejar ini dan itu. Aku hanya ingin menikmatinya sebagai orang yang lebih tenang, daripada harus mengikuti standar tuntutan masyarakat yang semakin ke sini semakin tidak pernah masuk akal.

“Orang juice nya ya Mas,” ucap pelayan yang membawakan orange juice padaku di meja.

“Baik Mas, terima kasih,” jawabku yang menghentikan ketikan laptop sementara.

Dibalik keramaian Sarinah, aku menutup kedua telinga dengan headset. Sambil mendengarkan isi rekaman wawancara, juga beberapa lagu yang bisa menjadi pembunuh waktu di kala bosan. Semakin aku menikmati hidup, semakin aku hanya ingin hidup di situ. Tapi, bagaimana caranya? Seharusnya aku akan berpikiran hal yang normal seperti orang lain, yakni orang dewasa dan siap mengambil risiko. Ah, tapi aku juga belum dikatakan dewasa. Sampai kapanpun aku mungkin tidak akan pernah dewasa.

Kata seseorang yang kalimatnya cukup menyakitkan di SMA, sebut saja Ian, dia bilang kalau aku masih seperti anak kecil dan belum punya pemikiran yang dewasa. Cih, apa gunanya harus berpikiran dewasa di masa SMA, masa yang harus digunakan sebaik mungkin entah bermain, jatuh cinta, dan menikmati kebebasan. Tapi aku sadar, di masa sekolahku memang tak punya teman yang banyak. Aku rasa aku mulai kurang percaya dengan pertemanan yang solid dan tulus seperti apa, sebab semuanya memang tidak pernah ada dan tidak pernah abadi. Dan satu lagi, aku dibiarkan untuk melakukan apa-apa sendiri tanpa perlu bergantung dengan orang lain. Jadi aku turut berbangga diri kalau aku tidak mudah manja seperti mereka.

Mungkin, kata ‘dewasa’ hanyalah cara buat menyerang seseorang yang pilihan hidupnya berbeda dari manusia normal atau sedang menikmati kebahagiaan. Semakin percaya bahwa tidak ada orang yang benar-benar dewasa di dunia ini. Mereka hanya tumbuh sebagai anak kecil di dalam diri mereka, dan menutupi rasa anak kecil itu di usia dewasa.

Usai menyeruput orange juice dan mengirim berita di email. Aku melihat sekeliling di resto ini. Sarinah yang dahulunya punya tempat yang bermakna bagi anak-anak tahun 90 juga telah berubah. Ya, dulu sebelum Sarinah berubah, ada McDonalds yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda di masa tahun 1990. Saat pandemi Covid-19, tempat ini resmi tutup dan diganti dengan Sarinah nuansa yang baru. Ya, sebagaimana kenangan yang dimiliki seseorang, hanya menetap di kepala meski semuanya berubah.

Dan ketika semua berubah, seseorang hanya punya dua pilihan. Sedih berkepanjangan atas perubahan yang membuat kecewa, atau tetap menjalani hidup dengan mati rasa tanpa harus menjalani hidup dengan perasaan. Aku tahu rasanya dikecewakan seperti apa, aku sama seperti orang lain yang pernah kecewa ketika perubahan itu terjadi. Aku juga kecewa kenapa aku tidak bisa mengubah hidupku. Tapi ada sebab mengapa aku tidak bisa mengubah hidupku menjadi sesuai apa yang kuinginkan, keterbatasan.

Aku dibatasi ketika ada sesuatu yang aku sukai. Tapi, di masa aku kecil aku memang tidak bisa melawan selain menerima apa yang keluargaku inginkan. Yakni belajar dan menjadi anak teladan, tanpa tahu apa sebenarnya yang aku inginkan dalam hidup. Kalau seseorang pernah berkata hidup harus memiliki masa depan agar hidup sejahtera, aku sudah tahu ke mana masa depan itu akan membawaku terhadap apa yang kuinginkan. Ya, sejak kecil aku tidak pernah diberikan pilihan selain menerima apa yang sudah ditetapkan, dan aku cukup kecewa dengan diriku sendiri yang tidak bisa melawan.

Saat laptop kumatikan, aku menghabiskan orange juice yang tinggal sedikit. Lalu membayar, dan keluar dari resto yang telah membuat isi kepalaku bercabang. Mungkin kalau ada pintu masa lalu, aku ingin sekali mengubah dan pergi ke tempat di mana semuanya belum ada perubahan. Kalau bisa, aku ingin merasakan hidup di tahun 1990 seperti apa, atau pergi ke masa lain yang belum pernah kukunjungi, atau bertemu artis musisi yang sudah meninggal ketika aku belum lahir.

Di Sarinah aku menuju ke tempat balkon yang cukup lebar. Tempat di mana semua orang yang berkunjung berfoto sejenak. Aku berdiri di pinggir sambil melihat jalan-jalan dan gedung yang bertingkat. Langit yang tadinya panas kini berubah mendung. Entah akan hujan atau tidak, aku tidak bisa memprediksi. Kadang hanya mendung tanpa hujan, atau mendung yang hanya gerimis.

Semua berubah, yang tidak hanyalah gedung bertingkat. Perubahan hanya terjadi menunggu waktu. Semua akan berubah, meski langit dan bumi masih tetap sama. Mungkin benar, jika ada pintu masa lalu aku ingin berkunjung dan menikmati semuanya sebelum adanya perubahan terjadi. Entah tempat, momen, atau manusia. Hanya saja, seperti yang dikatakan orang-orang, perubahan terkadang melahirkan kecewa dibandingkan kebahagiaan. Dan perubahan lebih sering datang tiba-tiba tanpa memberitahu mu. Mungkin ini yang disebut dengan kejutan?

--

--

Aflaha Rizal

Just being spread of my mind in here, and all I do it's made by me. Find me on Instagram: @Aflaha.rizal