Hal Pertama yang Harus Kamu Percaya

Aflaha Rizal
9 min readMay 31, 2023
Photo: Aflaha Rizal

Akhirnya ku menyerah

Maafkanku yang menyela

Jika dahulu ku tak pernah

membuatmu bahagia.

For Revenge-Jakarta Hari Ini

Jakarta, Oktober 2022

Di suatu sore, saat kamu punya waktu kosong, kamu tak henti-hentinya mengirim pesan padaku tentang langit sore hari itu usai pulang kerja. Katanya indah, persis seperti mata kamu sendiri. Ya, kamu berusaha untuk memuji dirimu, dan aku tidak mempermasalahkan itu. Justru aku bangga kamu memuji dirimu di antara orang lain yang jarang memujimu.

Sungguh, aku iri padamu yang bisa memuji dirimu sendiri. Sedangkan aku, aku tidak pernah sekalipun memuji diriku selain menilai kekurangan yang aku miliki. Terkadang, aku juga iri dengan orang yang dipuji orang lain. Entah dari wajahnya yang bagus, karier yang bagus dan tidak akan kena PHK, dan kehidupan yang serba ada. Kamu pun tahu, aku hidup tanpa punya teman banyak selain hanya satu, dua, atau tiga teman. Itupun teman rumah. Sisanya hanyalah teman bersifat sekolah, tugas, dan pekerjaan.

“Tapi sesekali kamu harus bisa menilai diri kamu. Kamu pasti ada sesuatu yang spesial,” katamu. Sesuatu yang spesial, aku justru hanya mengarah pada seseorang tanpa melihat diriku sendiri.

Kamu tahu, bila aku sudah mencintai dan menyayangi seseorang, aku bisa saja kehilangan diriku sendiri asal seseorang bahagia dari perjuanganku. Begitu juga saat aku pertama kali mengenalmu, aku pernah bilang kalau kamu itu spesial dari apa yang kamu ucapkan sendiri.

“Kamu tuh punya sisi di mana kamu mampu bertahan hidup,” kataku padamu, saat aku berkenalan padamu di media sosial. Saat itu kita belum memutuskan untuk bertemu, hanya sebatas mengirim pesan sebagaimana orang-orang berkenalan pada umumnya.

“Aku rasa itu cuma ungkapan gombal,” kamu mengejekku seolah aku adalah lelaki yang sama, yang pernah kamu temui sebelumnya.

“Kamu nggak percaya?”

“Nggak. Nggak pernah mau percaya apa-apa.”

“Berarti nggak percaya agama sama Tuhan dong?”

“Kalau itu aku percaya,” bantahmu.

“Katanya kamu nggak percaya apa-apa di hidup ini?” tanyamu, seolah kamu merasa terpojok atas pertanyaanku barusan. Aku bisa melihat dari kedua bola matamu yang berpindah ke sisi yang lain. Kamu tidak bisa menjawab itu. Karena itu, aku mencoba menjawab pernyataan lain. “Kadangkala, orang yang merasa dirinya spesial dan orang lain sadar, orang yang bersangkutan tidak menyadari itu sendiri. Bahkan dari lelaki pun, kamu menganggapnya gombal dan modus belaka.”

“Aku bercanda ih!” kamu berkilah.

“I know, because you just making the truth, don’t you?”

“I’m not. You answer as being serious person. That’s why you’re not being enjoyed in life,” kamu melawanku dengan argumen itu. Sambil tertawa, aku hanya menggeleng kepala. Kamu bilang aku tidak menikmati hidup, selain menjadi serius? Tentu tidak, kamu harus percaya bahwa aku bukan sosok yang lebih banyak menjadi serius. Aku cukup lelah menjadi sosok serius ketika dunia hanya bercanda. Jadi aku bisa mengikuti apa yang ada di dunia ini, bila ingin bercanda dan main-main, aku akan mengikuti aturannya.

“Being a serious person, it’s good sometimes. But you must know about this life. If the world has many problems, sometimes people too, their close with the smile, some jokes to less sadness,” katamu.

“Ya, begitu lah.”

“Begitu lah?”

“So, what’s the answer?” tanyaku padamu, memberimu sebuah saran agar aku tahu apa yang harus ku jawab.

“Why you ask me? Should I give you some advice or something?”

“Hahahahhaa.”

“Don’t over laugh.”

“Okey, let’s start talking about meet for the first time.”

“How about Senayan City?”

“It’s far.”

“Jadi mau di mana?”

“How about Margonda City?”

“Are you kidding me?”

“Atuh mau ke mana weh, so confused,” aku mencoba membuatmu berpikir kalau aku adalah lelaki yang tidak bisa mengambil alih atau memutuskan sesuatu. Agar kamu tahu bagaimana kamu menilaiku. Dan, ya, kamu pun berkata demikian sehingga aku membuat jawaban setelahnya.

“Ihh, kan kamu yang ajak ketemu.”

“Oke, kita ke Senayan City, abis itu kita kulineran malam di sekitaran Blok M. Bagaimana?”

“Okey, see you at Saturday night ya,” dan kamu mulai menutup percakapan itu.

Usai dapat alamat tempat kos kamu tinggal di sekitaran Jakarta Barat, aku sempat berhenti sebentar di pom bensin Shell Helix sehabis mengisi bensin. Aku mengirim pesan padamu sebelum bertemu pertama kalinya. “Kalau nanti tidak sesuai dengan eksptektasi, aku minta maaf ya. No, I’m not insecure about me. I’m just saying this.”

Tak lama kamu membalasnya cepat. Dan aku tahu kamu memang sedang menunggu kedatanganku. “Justru aku yang takut di kamunya, kalau nggak sesuai ekspektasi kamu. But that’s okay, we can accept each other right before relationship?”

Aku segera menuju tempat alamat kosnya tinggal. Tidak butuh waktu lama, aku sampai di tempat di mana kamu tinggal selama meninggalkan kampung halamannya, Lombok. Aku memastikan padamu kalau aku sudah ada di luar pagar kos, kos yang cukup mewah di kawasan Jakarta Barat. Hatiku cukup deg-degan, apakah ini perasaan sebagaimana mengenal seseorang dari media sosial? Padahal, aku sudah cukup lama sendiri. Tapi aku menemukan sensasi ini seperti mendapatkan cinta pertama di usia muda. Entah kenapa, aku sedang memastikan agar aku tidak gugup di depanmu, dengan penampilan yang seadanya, wajah yang tidak begitu tampan dengan jerawat yang ada di pipi, dan motor yang kukendarai.

Kamu keluar dengan sweater turtleneck cokelat yang cukup ketat, dengan celana kulot hitam dan sepatu Nike putih. Kamu tampak kebingungan mencariku, sebab ada banyak motor yang menepi dekat kos kamu. Aku sudah bisa melihatmu dari jauh. Ya, begitu cantiknya dirimu. Ah, aku tampak gugup malam itu. Aku mencoba menenangkan tetapi sungguh, tak begitu mudah buatku. Dengan perlahan, aku menghampirimu yang sambil mengetik pesan. “Sakila?” panggilku.

“Rifal?”

“That’s right. It’s me,” aku tersenyum menatapmu, walau tertutup masker dan juga helm. Tapi, aku bisa melihat rambutmu yang perlahan kamu gerai. Entah itu cara kamu memikat atau memang kamu merasa ingin menggerai rambut saat sudah dikuncir.

“So, let’s go!” perintahmu. Dan aku langsung mengenakan helm di kepalamu. Aku bisa lihat tawamu yang cukup renyah. “Ohh mau coba love language ceritanya?”

“Hahahahha.”

Aku membawamu ke Mall Senayan City, mall Jakarta yang cukup besar buatku. Entah pikiran apa yang membuatmu ingin pergi ke sana. Aku mengikuti keinginanmu sebelum menuju Blok M. Sepanjang jalan aku bisa melihat wajahmu yang setengah tertutup masker. Dan bisa kulihat kedua mata cantikmu yang melihat pandangan ke sekeliling kota. Ku biarkan kaca spion motor mengarah ke wajahmu, dan sengaja ku arahkan agar aku bisa melihatmu sesedikit. Sesampai di mall, entah gerakan apa yang membuat tanganku mulai menggapai tanganmu sepanjang perjalanan.

Ya, kita baru pertama kali bertemu, walau satu bulan percakapan kita begitu banyak dan membagikan hari-hari yang telah lewat. Aku bisa mendengar semua cerita dan keluhanmu, begitu juga diriku. Kita sering berbicara setiap malam selesai bekerja. Aku bisa memahami perasaanmu sebagai anak rantau yang jauh dari ibumu, yang hidup sendirian setelah kamu mengalami masa broken home dan ayahmu yang menikah lagi. Kamu sangat membenci ayahmu ketika dia pergi meninggalkanmu. Dan kamu hanya sayang pada ibumu, sehingga kamu banting tulang merantau dan membuktikan kalau kamu bisa hidup dan berdaya setelah lulus dari Universitas Trisakti. Oh iya, kamu juga bilang, kalau kamu kuliah di kota Jakarta ini memang hasil dari kerja kamu. Mulai jadi pemeran di pentas teater, SPG, dan foto model iklan.

“Temenin aku beli lipstik dulu yuk, buat setok aja,” kamu membawaku ke tempat menjual lipstik.

“Emang udah habis?”

“Ya belum sih, cuma kan buat setok aja. Kan aku kerja di Bank, bibir harus cantik biar customer senang.”

“Hidih!”

“Hahahahaha.”

Kita begitu lama di mall ini, sampai waktu menunjukkan pukul 9 malam dan memutuskan langsung kuliner di daerah sekitaran Blok M. Kamu pun lapar, begitu juga aku. Hingga aku menemukan pecel ayam yang cukup enak di sana. Mungkin itu perkiraanku, karena aku belum pernah kuliner di sekitaran kota ini, apalagi bersama perempuan. Saat sampai dan langsung memesan, aku pun bilang padamu sekali lagi tentang aku yang berbeda di media sosial. Kamu pun membalas, “Nggak apa-apa. Aku nggak begitu lihat fisik dari cowok kok. Yang penting dia mau kerja dan nggak malas.”

“I know, because you are worker as well right?” aku memandang wajahmu yang perlahan menatap mataku.

“Ya, masa iya aku yang kerja tapi dapat cowok yang nggak kerja? Atau kalau misalkan nganggur, ada pekerjaan lepas atau bisnis apa gitu yang bisa dikerjain. Asalkan nggak malas, itu saja,” jawabmu realistis.

Walaupun jawabmu tetap begitu. Entah, ada rasa takut yang masih menghinggapiku. Kamu tahu, hidup dengan acne fighter tidak mudah. Ada yang menyerah, ada yang malu untuk menampakkan diri. Walaupun wajahku tidak selalu berjerawat, bekas di wajah sangat membuatku takut menampakkan diri. Entah mengapa, aku juga ingin tampan seperti orang lain di sana yang bisa dibanggakan wanita sebagai pasangannya. Tapi, pikiran ketakutan itu sirna saat kita banyak berbicara selama makan. Tawamu begitu renyah, dan pembicaraan kamu sangat terbuka dan tidak kaku. Kamu punya banyak impian yang ingin diwujudkan, salah satunya bisa lanjut kuliah ke jenjang yang lebih tinggi dan punya jabatan yang mumpuni. Kamu pun memang tidak ingin berlama-lama kerja di orang, selain ingin hidup dan punya bisnis sendiri. Aku turut mendengar semua harapan kamu.

“One day, we never know after this met. Whether we’ll be in relationship or disappear. Karena aku tahu, cowok tuh kadang cuma berakhir penasaran abis ketemu kan, Fal?” ucapmu, yang segera mengalihkan wajah ke jalanan.

“I hope after this, we can build a relationship and commitment. Aku tahu, seseorang yang ketemu di media sosial kadang kita nggak tahu gimana kehidupan aslinya. Bagaimana latar belakangnya, bagaimana masa lalunya. But I’m pretty sure about you Sakila,” aku mencoba meyakinkanmu. Meski di wajahmu kamu masih bertanya-tanya. Selebihnya adalah tentangmu, karena kamu yang punya jawaban semuanya.

Sepanjang malam, aku merekam semua senyum yang kamu perlihatkan padaku. Senyum yang tenang, senyum yang indah, dan tawa kebahagiaan tanpa beban berat. Aku meyakinkan diri, bahwa aku ingin menjadi pelindungmu meski kamu mungkin tidak begitu ingin. Karena aku tahu, seorang perempuan yang sudah berdikari di jalan sendiri, mampu mencari uang, mencari pasangan adalah hal lain dan tidak perlu terburu-buru. Tapi aku bisa melihat dari dirimu, kamu benar-benar butuh seseorang yang setidaknya tidak hanya singgah, tapi menetap. Dan itu hal yang harus kamu percaya.

Saat waktu sampai pada tengah malam. Kita pulang dan aku mengantarmu ke tempat kos seperti biasa. “Tapi nanti kamu kejauhan Fal,” ucapmu saat aku menawarkan diri.

“Kan aku yang ngajak, dan aku yang nganter. Masa iya pulang kamu sendiri?” jawabku. “Udah ya, aku anter.”

Selama pulang kamu cukup banyak diam. Wajar, energi pembicaraan kita habiskan di dua tempat. Dan mungkin sudah waktunya untuk istirahat. Tiba di kosan tempatmu tinggal, kamu turun dan membuka helm sendiri. Sebelum masuk, kamu pun menatap mataku. “Makasih ya Fal. See ya next day.”

“Soal itu, bagaimana?”

“Yang mana?”

“How about after met and relationship.”

“Nanti aku jawab ya. Kalo bisa pas kita ketemu yang kedua kalinya. Aku rencana pengen ngajak kamu nonton Dewa 19 di JIS Stadium. Suka Dewa nggak?”

“Suka, tapi nggak suka yang banget sih. Tapi aku tahu lagunya.”

“Yaudah, kita war tiket nanti.”

“Kamu bakal jawab pas kita nonton Dewa? Nggak kelamaan?”

“Kinda long ya. Yaudah, Dewa 19 pertemuan ketiga. Semoga aja kita bisa masuk ke relationship ya. Hati-hati Fal di jalan.”

Aku mengangguk, menyalakan motor dan pergi meninggalkan tempat kos. Sepanjang jalan, aku hanya tersenyum usai pertemuan pertama kita itu.

Beberapa minggu kemudian sebuah pesan darimu tidak pernah terbalas. Sejak pertemuan itu, dua hari ke depan memang tidak ada lagi kabar kamu. Dan saat aku mengirim pesan, jawabanmu hanya singkat dan terlihat tidak tertarik untuk berbicara padaku. Aku memaklumi sejenak, mungkin saja kamu lelah atau sedang punya masalah. Tapi tidak, selama satu minggu kabarmu memang menghilang. Kamu benar-benar menghilang. Aku teringat percakapan saat pertemuan pertama kita. Kamu bilang, one day, we never know after this met. Whether we’ll be in relationship or disappear. Tapi tidak, justru kamu yang memilih menghilang. Sebenarnya aku tidak begitu terlalu mendalam, hanya saja aku penasaran mengapa kamu menghilang. Apakah karena wajahku yang mungkin tidak sesuai ekspektasi kamu? Atau memang ketidakcocokan, atau hanya penasaran?

Perlahan-lahan, aku mulai menerima bahwa tidak semua pertemuan di awal akan menemukan titik akhirnya. Sampai kemudian aku melihatmu di TikTok. Aku menemukan satu video milikmu yang banyak sekali penonton, dengan jumlah penyuka yang juga banyak di laman For Your Page. Ya, kamu membuat video bersama lelaki lain entah siapa. Cukup romantis, cukup membuatku iri yang dibanggakan olehmu. Secara dari wajah, kuakui memang jauh dariku. Mungkin seharusnya aku menyadari diriku sendiri.

Gerakan jariku perlahan berselancar di nama lelaki yang kamu pasang itu. Aku melihat profilnya, seorang gamers live streaming yang cukup terkenal dengan pengikut yang juga banyak. Ya, sudah seharusnya aku menyadari kalau aku memang begitu jauh. Meski jalan akhir tanpa harus berkata pamit, aku masih dirundung pertanyaan tentang ‘Mengapa?’. Tapi, perlahan tenggelam di dasar lautan. Aku memilih menenggelamkan banyak pertanyaan yang ingin ku tanyakan padamu.

Juga pertemuan yang perlahan tidak terjadi. Pertemuan kedua yang tidak akan benar-benar terjadi. Dan pelan-pelan, aku mencoba menenggelamkan mu dan semua ingatan awal kedekatan kita. Satu hal yang harus kamu percaya, melupakan atau memilih diam dengan seribu pertanyaan di kepala tanpa bertanya padamu, adalah hal yang tak mudah untukku. Meski pada akhirnya, ini semua menjadi harus dan benar-benar harus terjadi.

--

--

Aflaha Rizal

Just being spread of my mind in here, and all I do it's made by me. Find me on Instagram: @Aflaha.rizal