Gen Z Jadi Samsak, Boomer yang Nggak Tahu Diri!

Aflaha Rizal
7 min readJun 14, 2024
Photo: Aflaha Rizal

Berhubung saat ini ada stigma tentang Gen Z yang banyak sisi nilai negatifnya, saya jadi heran, ada apa generasi manusia yang hidup di bumi, terutama Indonesia akhir-akhir ini? Apa yang membuat hal itu terjadi, ada apa gerangan? Saya mungkin bisa dianggap generasi yang masih muda. Entah itu Gen Z, Millenial, atau terserah lah saya mau dibilang apa. Tapi, lah kok malah begini?

Permasalahan ini selalu memborbardir saya, terutama diri saya sendiri yang berusaha untuk memfilter pemikiran saya agar tidak terlalu keras-keras seperti masa muda awal 20 saya dulu, yang cenderung membuat saya stres dan kehilangan diri saya sendiri mengenai permasalahan dunia yang cukup complicated. Berbicara tentang stigma Gen Z, terutama di bidang profesional, selalu dipojokkan dengan kalimat bahwa mereka pemalas dan tidak mau maju di kehidupannya.

Bahkan lembek secara mental dan tidak seperti para generasi-generasi terdahulu yang tahan banting. Dan ini terjadi dari ungkapan para boomer yang dinilai punya sisi superior sehingga tidak bisa melihat bahwa ada perbedaan dari generasi yang seharusnya, tidak bisa disamakan dengan generasi mereka. Oke, memang Generasi Z selalu dibilang pemalas dan punya ego yang tinggi. Saya boleh bilang bahwasanya Gen Z jangan terlalu gede ego di manapun itu.

Tapi soal dibilang pemalas, ini bisa dilihat tingkat kemalasannya. Apakah sering, sehari, dua hari, atau jarang? Toh semua manusia malas. Saya pun juga punya rasa malas, terutama menulis yang buat saya semakin kehilangan gairah. Bahkan generasi boomer pun juga demikian, kemalasan mereka juga pun bisa saja dialami. Omong kosong di dunia ini manusia tidak boleh malas sekalipun. Orang ada yang mengatakan Hak Untuk Malas dan Malas Itu Hak kok.

Baru-baru ini terjadi di laman media sosial TikTok, ada seorang perempuan yang membuat konten sebut saja namanya X, dia mengungkapkan tentang sisi negatif Gen Z yang akhirnya banyak dibombardir dari para masyarakat media sosial TikTok yang saling menanggapi, saling menyerang pendapat, dan saling menyerang lewat asumsi. Mirisnya, pernyataan tentang negatifnya Gen Z dari kreator yang menggambarkan Si Paling Kerja ini, masih berumur muda. Lho, kenapa yang muda menjadi berlagak seperti para boomer?

Di dunia ini, stigma memang ada di mana-mana. Nggak usah jauh-jauh ke Amerika, di negara Tanah Air Indonesia ini, masing-masing masyarakat pun tanpa menyadari, memberikan pernyataan negatif, stigma negatif, bahkan parahnya rasisme. Hanya saja mereka tidak menyadarinya. Misal, stigma badan gendut dibilang obesitas, kurus dibilang penyakitan, jerawatan dibilang tidak terawat dan jorok hidupnya, sampai soal kulit tan skin yang juga menjadi bahan olok-olokan karena sudah disuap terlalu lama oleh citra kulit putih di era kapitalisme.

Saya heran, mengapa hal ini terjadi begitu masif? Saya merasa bahwa hidup di negara yang dikenal ramah tamah ini, justru malah tidak aman bagi sesama yang hidup di negaranya sendiri, yang sudah lahir dari awal di sini, punya darah Indonesia, terutama saya sendiri yang sudah hidup 26 tahun di tanah Bhineka Tunggal Ika ini.

Kembali ke stigma negatif Gen Z. Stigma ini juga lahir tidak hanya lewat omongan, meme pun juga menjadi bahan untuk memasifkan terkait stigma ini. The Standard ASL mengungkapkan tentang stigma Gen Z yang dilakukan secara masif ini lewat judul artikel Laziness Highlight Flaws of Generation Z[1]. Dibanding mengatasi hal tersebut, media justru melanggengkan stigma ini dan menormalisasikan stereotipe Gen Z melalui meme, gifs, dan bentuk kalimat satir lainnya di konten media digital. Selain itu, stereotipe tentang citra kemalasan Gen Z yang diungkapkan, justru ada alasan tersendiri. Bukan mereka pemalas yang sebenarnya, hanya saja generasi mereka saat ini memang tumbuh bersamaan dengan kemajuan teknologi yang mempermudah mereka, yang membentuk kehidupan generasi Z ini cenderung berbeda daripada generasi terdahulunya.

Dalam logikanya yang ditulis oleh di artikel tersebut, perbedaan generasi pun cenderung berbeda. Terutama dalam memesan makanan. Ketika generasi terdahulu perlu membeli makanan di grosir atau super market, membuat makanan sendiri, atau pergi ke restoran, Gen Z pun berbeda. Sekarang ini, mereka untuk memesan makanan saja sudah ada layanan delivery dengan hanya menekan fitur lewat jari, sekaligus mempermudah hidup. Tanpa perlu bersusah-susah buat makan siang atau malam.

Perbedan inilah yang mencolok. Lha, kok malah seakan-akan Gen Z jadi alat samsak dari generasi terdahulu, terutama dari generasi boomer sendiri yang paling kencang suaranya kalau menghadapi generasi ini. Mulai dari suka pindah-pindah kerja atau kutu loncat, malas, suka pilih-pilih kerja, pengen gaji besar kerjaan santai, work life balance, dan kerja dari rumah tanpa perlu hadapin kemacetan.

Jika dibalik, memang generasi boomer awal-awal kerja setelah lulus kuliah, apa tidak kutu loncat juga sebelum mendapat posisi yang mapan atau settle seperti sekarang-sekarang ini? Bahkan fasilitas seperti mobil, gaji yang besar, dan rumah layak yang sudah didapatkan? Nggak tepat rasanya kalau Gen Z adalah orang paling malas dan kutu loncat, sedangkan generasi boomer pun tanpa mau melihat dan introspeksi dirinya sendiri.

Perbedaan generasi yang mencolok ini memang tidak akan selesai dibicarakan, terutama stigma negatif yang terus diglorifikasi sehingga menjadi sebuah kewajaran atau budaya. Ngeri rasanya kalau stigma Gen Z menjadi budaya yang harus dilanggengkan, terutama tentang kemalasan dan suka kutu loncat. Pertanyaannya, apakah yang melanggengkan stigma ini dari gen boomer mereka sudah di taraf paling atas hidupnya? Bisa menguasai apapun? Atau memang merasa dirinya orang yang paling benar dan tidak mau salah, sehingga bawahan saja yang harus disalahkan?

Memilih pekerjaan itu sebuah hal yang wajar. Tidak mungkin rasanya kalau mereka mau bekerja yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang mereka pelajari, atau di luar kemampuan batas mereka. Begitu juga gen boomer, omong kosong jika mereka yang dibilang tahan banting, mau melakukan pekerjaan apa saja. Dan mereka ingin mendapatkan akses pekerjaan yang enak, sama halnya dengan Gen Z. Tapi, mengapa Gen Z yang salah?

Kalau mereka ingin work life balance, ya biarkan saja. Masa repot kalau soal begitu saja? Memangnya generasi terdahulu apakah tidak menginginkan hal yang sama? Atau begini, memilih pekerjaan secara selektif apakah haram di kamus besar kehidupan di Negara Indonesia?

Beberapa waktu yang lalu, berita mengenai angka pengangguran bagi Gen Z tembus 9,9 juta. Selain itu, Gen Z dan Milenial juga pernah disebut tidak akan bisa membeli rumah karena sibuk meningkatkan gaya hidup. Seperti misalnya berkunjung ke coffee shop. Permasalahannya bukan itu, permasalahannya adalah akses untuk mendapatkan kemudahan mereka dalam memiliki rumah dan pekerjaan.

Apakah gaji yang minim dan jauh dari layak bisa mendapatkan rumah? Tentu tidak. Apakah sistem pendidikan yang kurang menyeluruh, misal karena biaya mahal dan sulit mendapatkan akses, bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan gajinya bisa menyicil rumah? Tentu juga tidak. Dibutuhkan akan kesadaran bahwa sebenarnya, bukan Gen Z masalahnya. Tapi keterbatasan akses lah yang menghambat mereka. Lihat saja, syarat pekerjaan pun sudah terlampau berat dilalui. Mulai dari pembatasan umur, tinggi badan, wajah harus menarik, harus memiliki ini, memiliki itu, kenal si anu, kenal si itu, pengalaman itu, pengalaman ini, dan seterusnya. Dan berakhir stres dan gagal.

Apakah Gen Z adalah orang pemalas di dunia? Tentu tidak, kita tidak pernah tahu dibalik layar apa yang mereka lakukan. Sudah melamar pekerjaan ke mana. Sudah melakukan interview ke mana. Sudah membangun usaha kecil apa buat menyambung hidup. Sudah join class apa saja untuk meningkatkan kapabilitasnya yang bisa dijual ke perusahaan agar bisa diterima kerja. Dan terakhir, sudah berapa lama stres dan air mata yang turun karena sulitnya mendapat kerja.

Kadang orang-orang yang bicara seenak jidat seperti “Kok sudah sarjana nggak kerja-kerja sih? Si itu aja sudah kerja”, tentu masih belum berpikir jernih atau memang tidak tahu. Tapi kalau tahu dan tidak punya empati, bisa jadi jauh lebih sinting kemanusiaannya, dan mengandalkan rasa kepo yang lebih tinggi dibanding nurani nya. Begitulah adat yang masih mendarah daging di negara ini. Selain ramah, bergotong royong, keponya tinggi banget kalau pengen tahu urusan orang.

Lagi-lagi, kesempatan yang tidak terbuka bisa jadi salah satu penyebab mengapa pengangguran ini tinggi, terutama Gen Z. Ketahuilah, Gen Z punya beban yang jauh lebih berat. Di samping susah mendapat kerja, sudah usaha sana-sini, masih terus mendapat stigma yang tidak selesai-selesai, dan memang tidak akan pernah selesai pembahasan ini sampai beberapa tahun ke depan pun. Dan yang melanggengkan, akan terus dilanggengkan stigma yang tak bisa diputus rantainya.

Sekarang, mari kita berpikir tentang orang yang memberikan stigma Gen Z ini. Terutama generasi terdahulu seperti boomer yang mengatakan mereka tidak bisa kerja, kutu loncat, pekerjaan pilih-pilih, dan ucapan lainnya sehingga mereka terus menganggur. Itu seharusnya menjadi introspeksi bagi generasi terdahulu dalam memberikan kesempatan kerja, terutama generasi muda yang masih segar tenaga nya. Sayangnya, itupun jarang dipikirkan. Atau memang dipikirkan tapi tidak merata secara menyeluruh? Saya tidak tahu, saya hanya warga biasa yang kadang-kadang, bisa merasa salah bisa merasa paling benar. Jadi mau mengkritik atau komplain, ya suka-suka. Karena saya warga yang memang berhak mengkritik jika memang ini menyangkut kehidupan orang banyak.

Coba, batasan usia bisa dipertimbangkan buat dihapus. Yang belum punya pengalaman, sebaiknya dihapus saja minimal pengalaman kalau memang syarat nya mencari fresh graduate sebagai jalan karir pertamanya. Coba juga, tinggi badan dipertimbangkan, mencari pekerjaan atau mencari ajang kecantikan? Begitu juga soal muka, dipertimbangkan juga. Karena tidak semua orang di dunia ini ditakdirkan punya wajah yang good looking, dan tidak bisa protes mereka dilahirkan dari keluarga siapa dengan wajah yang seperti apa.

Jangan Gen Z dijadikan sebagai alat samsak, generasi terdahulu seperti boomer, yang punya kehormatan, punya reputasi, juga harus belajar tahu diri.

Bogor, 13 Juni 2024

[1] Selengkapnya bisa dibaca artikel lebih lanjut: https://standard.asl.org/14386/opinions/laziness-highlights-flaws-of-generation-z/

--

--

Aflaha Rizal

Just spread of my mind in here, and all I do it's made by me. I have no idea how to write some critics, but I do as well. Find me on Instagram: @Aflaha.rizal