Akankah Dunia Ilmiah dan Dunia Buku Hilang dari Kaum Anti Intelektualisme?

Aflaha Rizal
4 min readFeb 5, 2024
Photo by: Aflaha Rizal

Tahun pemilu menjadi tahun yang cukup sengit, terutama memuncaknya arus gelombang para pendukung yang ada di media sosial, terutama Instagram dan TikTok yang menyasar kaum muda. Memang cukup berbeda bila arus media sosial terkait topik politik dan paslon yang dibahas di aplikasi X (dahulu bernama Twitter). Semua saling mengkritisi satu sama lain di media sosial X.

Kita kembali di tahun sebagaimana adanya, di mana pemilu dan calon presiden dan calon wakil presiden saling bersaing untuk mencari suara dari masyarakat, baik masyarakat kelas bawah sampai kelas menengah atas. Meski beberapa komentar saling menyerang satu sama lain, terutama netizen Indonesia yang terus-menerus mencari cara untuk memanaskan suasana sehingga media sosial, untuk saat ini, menjadi cara yang baik untuk tidak mengaksesnya terlebih dahulu.

Pernahkah mendengar bahwa di setiap debat pemimpin, akan ada sebagian orang yang berkomentar bahwa satu calon pemimpin ini hanya jago teori daripada kerja, satu sisi pemimpin lain jago janji dan kata-kata, dan satu sisi pemimpin tidak jago dalam implementasi kebijakan, misalnya?

Itu contoh yang mungkin terdengar dan sering dilontarkan oleh netizen kebanyakan. Sayangnya, sikap anti-intelektualisme inilah yang dikeluarkan oleh salah satu netizen kebanyakan, yang cukup membuat saya selaku penulis, juga turut merasakan betapa bahaya nya jika sikap anti-intelektualisme ini cukup dilanggengkan sampai seumur hidup. Seperti misal membaca buku tiada gunanya. Menulis dianggap berkata-kata. Dan teori yang tidak akan bisa membuat seseorang kaya.

Saya paham, memang sebagian masyarakat Indonesia sangat minim dalam menghadapi karya intelektual yang dianggap sebagai kata-kata dan pandai berteori semata. Bahkan sebagian menganut yang namanya tindakan. Hal ini serupa seperti sebuah komentar yang mungkin sering terlontar, dan mungkin kita dengarkan. Buat apa sekolah tinggi cuma menang teori, praktek nol?

Para Sivitas Akademica juga telah turun tangan menghadapi persoalan demokrasi di Indonesia, mulai dari Universitas Indonesia, UGM, dan kampus lainnya yang turut turun tangan. Dilansir dari Kompas.com (2/2/2024) mengenai Guru Besar UI Serukan Semua Perguruan Tinggi di Indonesia Ikut Kawal Ketat Pelaksanaan Pemilu 2024. Para Sivitas Akademika disebutkan mengaku bahwa mereka prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi Indonesia. Dikatakan, Indonesia telah menghilaangkan etika dalam bernegara dan bermasyarakat, terutama pada korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah menghancurkan kemanusiaan[1].

Sampai pemberitaan tersebut masuk di media sosial TikTok, sayangnya komentar masyarakat tidak turut memperhatikan apa yang disampaikan oleh kaum intelektual dalam melihat suasana demokrasi di Indonesia yang sedang di ujung tanduk. Komentar mereka bahkan mengarah kepada Guru Besar dan Sivitas Akademika yang dianggap sebagai orang yang masuk dalam politik. Lebih parahnya, komentar mereka juga menunjukkan rasa tidak tertarik dan tidak butuh dosen.

Sisi lain, bayangkan bila sebagian orang mengandalkan pola pikir tindakan tanpa perlu adanya teori. Sudah pasti saya jamin jauh lebih berantakan daripada yang mempelajari teori di awal dan kemudian bertindak. Meski pada awalnya mengelak, kita tidak bisa hidup bila tidak mempelajari teori, karya ilmiah, atau buku untuk meningkatkan wawasan dalam intelektual dalam kehidupan sehari-hari kita.

Sikap Anti-Intelektualisme

Menurut Profesor dari Columbia University Richard Hofstadter (1916–1970), sikap anti-intelektualisme ini berawal terjadi di sekitaran masyarakat Amerika Serikat. Anti-intelektualisme tersebut terjadi adanya serangan terhadap gagasan objektivitas yang semakin berkembang. Sikap ini menolak yang namanya bidang keilmuan atau bidang sains di mana karya ilmiah tersebut dilakukan oleh seorang yang ahli di bidangnya[2].

Hal itu juga diungkap sebagaimana yang diterbitkan oleh jurnal Nature Human Labor berjudul “Anti-intellectualism and the mass public’s response to the COVID-19 Pandemic”. Jurnal tersebut mengatakan, sebagian orang yang memiliki sikap anti-intelektualisme disebut sebagai the generalized distrust of experts and intellectuals, yang dianggap menggeneralisir ketidakpercayaannya kepada para ahli dan para intelektual. Meskipun dalam pernyataan jurnal tersebut, ketidakpercayaan dari sikap anti-intelektual ini mengarah kepada publik yang merespons pemerintah terhadap permasalahan pada penyakit Covid-19.[3]

Di sisi lain, melansir dari Williambudiman.com[4] yang menyorot tentang Anti-Intelektualisme Adalah Kanker Dalam Masyarakat, merupakan skap dan tindakan yang berseberangan, meremehkan, dan menolak ide-ide dari teori maupun kajian yang menggunakan pendekatan ilmiah. Secara sederhana, anti-intelektualisme cenderung bertindak yang jauh dari pendekatan intelektual.

Kesalahan berlogika juga menjadi karakteristik seorang anti-intelektualisme. William Budiman dalam blog nya mengatakan, seorang yang punya sikap anti-intelektual dalam beropini misalnya, sering meninggalkan alur logika. Sehingga kegagalan dalam logika bisa saja terjadi dalam memandang sebuah fenomena atau kejadian.

Sikap ini bisa terjadi pada sebagian kelompok orang yang menganggap bahwa teori dan bacaan adalah hal yang tidak perlu dijadikan sandaran hidup, meskipun sebagian dari mereka pernah bersekolah dan hanya mencerna ilmu maupun bacaan yang tidak begitu mendalam. Begitu juga pada orang yang menekankan pada praktek daripada membaca teori, yang mungkin sering mendengar kalimat yang seperti ini: teori jago, praktek nol.

Saya membayangkan setiap orang yang memiliki pola pikir yang seperti ini. Bagaimana cara mereka melakukan sesuatu tanpa harus membaca teori sebelum melakukannya? Di luar para komentar pedas di tengah kompetisi pemilu, dan para pendukung yang saling menjatuhkan paslon lain lewat ungkapan seperti kita tidak butuh pemimpin yang berkata-kata, maunya yang kerja. Logika paling sederhana yang mungkin tidak akan pernah didengar orang adalah, seorang ingin belajar menulis tapi langsung menulis tanpa harus dimulai dari membaca buku terdahulu. Dan saya yakin, tulisan akan jauh berantakan.

Akankah dunia ilmiah dan dunia pengarang hilang dari kaum intelektualisme? Di manapun, kelompok anti-intelektualisme akan selalu berseberangan dengan para kelompok intelektualisme. Hanya saja perlu terus digaungkan ilmu pengetahuan oleh kaum intelektual agar tidak hilang dimakan kaum anti-intelektualisme. Sebuah ungkapan yang mungkin ingin saya tuliskan di sini:

Jangan menjadi bodoh yang keterlaluan. Jadilah bodoh yang ada waktu ingin belajar dan mencerna, agar kebodohan hilang serta hidup dengan kepintaran.

[1] Lihat Kompas: https://megapolitan.kompas.com/read/2024/02/02/15083921/guru-besar-ui-serukan-semua-perguruan-tinggi-di-indonesia-ikut-kawal

[2] Lihat: https://www.studioatao.org/post/understanding-anti-intellectualism-in-the-u-s#viewer-er08

[3] Vol 5. June 2021. Anti-Intellectualism and The Mass Public’s Response to The COVID-19 Pandemic. Nature Human Behaviour.

[4] Lihat: https://williambudiman.com/2016/11/17/anti-intelektualisme-adalah-kanker-dalam-masyarakat-indonesia/

--

--

Aflaha Rizal

Just being spread of my mind in here, and all I do it's made by me. Find me on Instagram: @Aflaha.rizal